Senin, 30 Mei 2011

Teruntuk Saudaraku

Teruntuk saudara-saudaraq seiman
Janganlah kau marah padaq saat ku menegurmu
ketika kau salah

Bukan maksud aq menggurui mu
Bukan maksud aku merendahkanmu
Namun.......

Semua itu
Karna qtak ingin
Engkau......saudaraku......
Jauh dari jalan-NYA
 
Aq ingin.....
Kita sebagai saudara saling mengingatkan
Dan barbagi ilmu yang kita punya

Saudaraq......Aq slalu berdo’a kepada-NYA
Aq ingin bertemu kalian diSURGA-NYA
Dan kita bersama bertemu Nabi kita
 NABI MUHAMMAD SAW

AMIN.

Tak mengerti apa arti hidup

Saat qmash tak mengerti apa arti hidup
Qslalu menginginkan menjadi sesorang yg cepat dewasa
Namun..........
Saat qmenginjakkan kaki dalam kedewasaan itu
Tak seperti yg qbayangkan
Semakin berat
Bahkan sangat berat

Saat qlalai atas amanah yg qemban
Saat qmeninggalkan kewajiban
Saat qmenomor satukan keinginanq
Saat qtak perduli apapun dan siapapun disekelilingku

SALAH
Rasa BERSALAH
SESAL
Rasa MENYESAL
Slalu mengikuti hari-hariku

Tau SALAH
Tpi SUSAH membuang kesalahan itu
Menyesal
Tapi dengan mudah berulangkali melakukan kesalahan

Diatas Sajadah-Mu
Dibawah Hening malam-Mu
Butiran-butiran Dzikir dan Do’a
Qpanjatkan Untuk-Mu
Ya الله
Tunjukkanlah  Rahman dan Rahiim -Mu
Agarq Kembali pada-Mu
Dekat.........Berada disisi-Mu

By: Mahalena R
17 -03 - 2011

Ukhti Bagaimana Denganmu?

السلام عليكم

Ukhti yang sedang dilanda cinta
yang sedang mencinta
dan cintai ikhwan-ikhwan yang telah memikat hati ukhti
kini bahagia memiliki hamba-hamba Allahyang sholihah

Namun....Jika apa yang ukhti fikirkanapa yang ukhti inginkan tidak dikabulkan Oleh-Nya
janganlah berburuk sangka kepada-Nya






Ukhti
jika saat ini ukhti sedang mencintai
dan dcintai oleh seorang ikhwan
dan sekarang telah menjadi teman special ukhti
telah lama xan bersama dalam bingkai cinta xan
namun, hubungan itu belum diHALALkan  

Saat ukhti sedang berbunga-bunga atas cinta seorang ikhwan
saat itu juga  seseorang yang belum ukhti kenal
bahkan belum tau benar siapa ukhti
dengan keyakinanya untuk melakukan sunnah Allah
ikhwan itu datang dan berniat untuk  berta'aruf 

Ya ALLAH Ya RABB
seorang ikhwan yang taat beragama
sholeh, berwibawa, berakhlak mulia, meskipun tak begitu tampan.
Namun,dengan ketaatan beragamanya ikhwan itu telah meminta izin kepada orangtuamu untuk mengkhitbah ukhti

Ya Ukhti
apa yang akan Ukhti lakukan dengan keadaan ini?
akankah ukhti tetap bersama ikhwan yang telah bersma ukhtidan ukhti cintai,
namun belum halal?
ataukahukhti akan berlari bersama ikhwan
yang tlah siap mengkhitbah mengajak ukhti untuk menghalalkan hubungannamun ukhti belum mencintainya? 
Jawablah semua itu pada hati ukhti
fikirkanlah sejenak
Karena, apa yang kita inginkan
dan apa yang kita fikirkan belum tentu Allah berkehendak

Wassalam.by: *Maha*:) 

Rabu, 25 Mei 2011

Gangguan Identitas Gender, Parafilia, dan Disfungsi Seksual



Makalah
PSIKOLOGI ABNORMAL
Gangguan Identitas Gender, Parafilia, dan Disfungsi Seksual



Di susun oleh :
1.     Ismiatul
2.     Aninda Rachma Putri                  
3.     Mahalena Ristriyanti         


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2009 – 2010



BAB 1
PENDAHULUAN

            Dalam lingkup perilaku seksual, konsep yang kita miliki tentang apa yang normal dan apa yang tidak normal sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Sikap dan nilai budaya masyarakat tentang apa yang normal dan tidak normal berbeda jauh. Sikap ini mempengaruhi perilaku seksual mereka dan kepuasan yang mereka capai atau tidak mereka capai dari aktivitas seksual. Dalam seks, seperti juga dalam area perilaku lainnya, garis batas antara normal dan tidak normal tidak selalu jelas. Seks, seperti halnya makan, adalah fungsi yang alamiah. Namun fungsi alamiah ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, cerita rakyat, budaya, takhayul, agama, dan keyakinan-keyakinan moral.
            Setiap tempat memiliki perspektif yang berbeda tentang aktivitas seksual. Sebagai contoh, masyarakat Inis Beag yang terletak pada batas kabut pantai Irlandia  meyakini bahwa wanita normal tidak akan mencapai orgasme dan wanita yang mencapainya pastilah menyimpang (Messenger, 1971). Wanita melakukan hubungan seksual dalam rangka mendapatkan anak dan menenangkan dorongan nafsu suami mereka. Mereka tidak perlu khawatir diminta untuk melakukannya sering kali, karena pria di Inis Beag yakin bahwa seks melemahkan kekuatan.
            Berbeda dengan masyarakat Mangaia yang merupakan mutiara Polinesia. Sejak masa kanak-kanak, anak-anak Mangaia diharapkan untuk mengeksplorasi seksualitas mereka melalui masturbasi (Marshall, 1971). Remaja Mangaia dodorong oleh tetua mereka untuk melakukan hubungan seksual. Wanita Mangaia biasanya mencapai orgasme beberapa kali sebelum pasangan mereka.
            Masyarakat Mangaia dan Inis Beag memiliki ciri anatomi yang sama, dan denyut hormon yang sama pada tubuh mereka. Namun sikap dan nilai budaya mereka tentang apa yang normal dan tidak normalberbeda jauh. Bahkan di Amerika Serikat saat ini , kita dapat menemukan sikap yang seperti di Inis Beag dan Mangaia. Sejumlah orang merasa bersalah mengenai bentuk aktivitas seksual apa pun dan karenanya hanya sedikit saja menikmati aktivitas seksual. Orang lain, yang melihat diri mereka sebagai anak revolusi seksual tahun 1960-an dan 1970-an, mungkin merasa khawatir tentang apakah mereka sudah cukup bebas atau cukup terampil dalam aktivitas seksualnya.
ll. ABNORMAL
Beberapa waktu belakangan ini sangat fenomental dengan seorang pria yang hidup di raga yang salah, seperti halnya homoseksual dan kelainan-kelainan lainnya di dalam seksual. Tentu kita sering kali melihat bahwa ada orang-orang yang dilahirkan sebagai pria, di tandai dengan alat kelamin dan hormon-hormon yang mengikutinya, namun bertingkah laku dan bersifat layaknya seorang perempuan , hal tersebut dapat dilihat hal-hal yang kasat mata sampai yang tidak, misalnya dari cara berpakaian,cara berbicara, teman sepermainan atau orientasi seksual.
Bagi sebagian dari kita (budaya timur) fenomena demikian masih dianggap sebagai hal yang aneh,anomaly dewan ataupun apapun istilah-istilah yang menerangkan kata “tidak wajar”. Memang sah-sah saja apabila orang di anggap demikian. Akan tetapi satu hal yang perlu kita ingat, bahwasanya kitatidak bisa selalu semena-mena menyalahkan orang-orang tersebut, karena pada dasarnya mereka juga mungkin tidak mau menjadi seperti mereka saat ini.
Bayangkan bahwa Anda adalah seorang perempuan menyukai segala hal yang berhubungan dengan kecantikan, kebersihan atau kelembutan,senang sekali untuk berbelanja, ingin selalu bergosip dengan teman-teman “genk” Anda, serta mjenyukai barang- barang yang lucu, terutama tas dan sepatu. Tetapi saat anda terbangun di pagi hari, yang melekat di tubuh anda dengan mudah menemukan sebuah penis tergantung di selangkngan anda, kumis yang tumbuh dengan kasar karena sebelum di cukur jakun di leher anda, dan bulu dada yang tumbuh dengan cukup lebat.








BAB II
PEMBAHASAN

A.   IDENTITAS GENDER GANGGUAN
Identitas gender(gender identity) adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita. Identitas gender secara normal didasarkan pada anatomi gender. Pada keadaan normal, identitas gender kunsisten dangan anatomi gender. Namun, pada gangguan identitas gender (gender identity disorder) terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya.
Gangguan identitas gender dapat berawal sejak masa kanak-kanak. Anak-anak dengan gangguan ini menemukan bahwa anatomi gender merupakan sumber distress yang terus-menerus yang intensif. Diagnisis tadak di gunakan hanya untuk melabel anak perempuan “tomboy” dan anak laki-laki “banci”. Diagnosis ini diterapkan pada anak-anak yang secara kuat menolak sifat anatomi mereka (anak perempuan yang memeksa buang air kecil sambil berdiri atau bersikeras tidak mau menumbuhkan buah dadanya; anak laki-laki yang menolak penis dan testis mereka.) atau pada mereka yang berfokus pada pakaian atau aktifitas yang merupakan streotip dari gender lain.
Diagnosis gangguan identitas gender (dulu di sebut transeksualisme) di berikan baik pada anak-anak atau orang dewasa yang mempersepsikan diri mereka secara psikologis sebagai anggota dari gender yang berlawanan dan yang secara terus-menerus menunjukkan ketidak nyamanan terhadap anatomi gender mereka.
Walau angka keseluruhan gangguan gender tidak di ketahui, gangguan ini di yakini muncul sekitar lima kali lebih banyak pada pria daripada wanita (Zucker & Green,1992). Gangguan ini memiliki pola yang berbeda-beda . Bisa berakhir atau berkurang pada masa remaja, ketika anak dapat lebih menerima identitas gender mereka. Atau bisa juga bertahan selama masa remaja atau dan dewasa dan menyebabkan identitas transeksual (Cohen-Kittenis dkk.,2001). Anak tersebut bisa juga mengembangkan orientasi gay atau lesbian pada saat remaja (Zucker & Green,1992).
Banyak orang dewasa transeksual melakukan operasi perubahan gender. Pada operasi ini akan di bentuk alat genetikal eksternal yang semirip mungkin dengan alat genetikal yang di inginkan. Orang yang melakukan operasi ini dapat melakukan aktifitas seksual, bahkan mencapai orgasme, namun mereka tidak mampu mempunyai atau melahirkan anak karena tadak mempunyai organ reproduksi internal dari gender baru yang di bentuk ini. Peneliti secara umum menemikan hasil psikologis yang menyenangkan dari operasi perubahan gender  (Misalnya Cohen- Kettenis &Van Goozen,1997), terutama ketika dilakukan penjagaan ketat yang bertujuan untuk membatasi operasi hamya pada kandidat paling tepat. Pada studi baru-baru ini, 14 pasien pria yang telah menjadi wanita dan 5 pasien wanita yang telah menjadi pria, di temukan dapat berfungsi baik secara social dan psikologis setelah operasi, tanpa satupun yang menunjukkan penyesalan atas prosedur tersebut (Cohen-Kettenis & Van Goosen,1997). Pada penelitian lain, tidak ada satupun dari 20 pasien remaja yang menjalankan operasi perubahan gender yang merasa menyesal tentang keputusan mereka(Smith dkk,2001).
Pria yang mencoba melakukan perubahan gender jumlahnya lebih banyak daripada wanita, sekitar 3 atau 4 banding 1, tetapi secara umum hasilnya lebih  disukai untuk kasus wanita menjadi pria. Mungkin salah satu alasannya adalah penerimaan mansyarakat yang lebih besar pada wanita yang memiliki hasrat untuk hidup sebagai pria. Alasan lain yang muncul adalah wanita dengan gangguan identitas gender secara umum lebih dapat menyesuaikan diri dari pada rekan prianya sebelum operasi (Kockott & Fahrner,1998). Pasien pria menjadi wanita yang pada operasi tidak menyisakan tanda apapun (seperti bekas luka pada payudara atau sisa jaringan erektil) di temukan memiliki penyesuaian diri yang lebih baik dari pada yang operasinya yang kurang sukses dalam membentuk mereka menjadi wanita (Ross & Need, 1989).
Identitas gender berbeda dengan orientasi seksual. Gay dan lesbian memiliki minat erotis pada anggota gender  mereka sendiri, tetepi identitas gender mereka (perasaan menjadi pria atau wanita) konsisten dengan anatomi seks mereka. Mereka tidak memiliki hasrat untuk menjadi anggota gender yang berlawanan atau merasa jijik pada alat genital mereka, seperti yang dapat kita temukan pada orang-orang dengan gangguan identitas gender.
Tidak seperti orientasi seksual gay atau lesbian, gangguan identitas gender sangat jarang di temukan. Orang dengan gangguan identitas gender yang tertarik secara seksual pada anggota dari anatomi gender mereka sendiri tidak menganggap diri mereka sebagai guy atau lesbian. Gender yang mereka miliki sebelumnya merupakan kesalahan di mata mereka. Dari sudut pandang mereka, mereka terperangkap pada tubuh dengan gender yang berbeda.
Ciri-ciri Klinis dari Gangguan Identitas Gender
(a)   Terhadap identifikasi yang kuat dan persisten gender lainnya.
Setidaknya 4 dari 5 ciri di bawah ini di perlukan untuk memberikan diagnosis tersebut pada anak-anak:
1.      Ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lainnya (atau ekspresi dari kepercayaan bahwa dirinya adalah bagian dari gender lain)
2.      Preferensi untuk mengenakan pakaian yang merupakan streotipikal dari gender lainnya
3.      Adanya fantasi yang terus-menerus mengenai menjadi anggota dari gender lain, atau asumsi memainkan peran yang di lakukan oleh  anggota gender lain dalam permainan “pura-pura”.
4.      Hasrat untuk berpartisipasi dalam aktivitas waktu luang dan permainan yang merupakan streotip dari gender lainnya.
5.      Preferensi yang kuat untuk memiliki teman bermain dari gender  lainnya (pada usia dimana anak-anak biasanya memilih teman bermain dari gendernya ssendiri)
Remaja dan orang dewasa biasanya mengekspresikan keinginan untuk menjadi bagian dari gender lainnya, sering kali “berperilaku ” sebagai anggota gender lainnya, dan berharap untuk hidup sebagai bagian dari gender lainnya atau percaya bahwa emosi dan perilaku mereka setipe dengan gender lainnya.
(b)   Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus ada dengan anatomi gendernya sendiri atau dengan perilaku yang merupakan tipe dari peran gendernya.
Pada anak-anak, cirri-ciri ini biasanya muncul: Anak laki-laki mengutarakan bahwa alat genetikal eksternal mereka menjijikan, atau akan lebih baik jika tidak memilikinya, menunjukkan penolakkan pada mainan laki-laki, permainan “maskulin”, dan permainan yang kasar serta jungkir balik. Anak perempuan untuk memilih tidak buang air kecil sambil duduk, menunjukkan keinginan untuk tidak menumbuhkan payudara atau menstruasi, atau menunjukkan penolakkan pada pakaian “feminim”. Remaja dan dewasa biasanya menunjukkan bahwa mereka di lahirkan dengan gender yang salah dan mengekspresikan harapan untuk intervensi medis (misalnya: penanganan hormon atau pembedahan) untuk menghilanhkan karakteristik seksual mereka dan untuk meniru kerakteristik dari gender lainnya.    
(c)    Tidak ada “kondisi inter seks” seperti anatomi seksual yang ambigu, yang mungkin membangkitkan perasaan-parasaan tersebut.
(d)   Ciri-ciri tersebut menimbulkan distress yang serius atau hendaya pada area penting yang terkait dengan pekerjaan, social atau fungsi lainnya.
Orang-orang yang mengalami gangguan identitas gender (GIG) atau transeksualisme, merasa bahwa jauh didalam dirinya merupakan oaring yang berjenis kelamin berbedadengan dirinya saat ini dengan kata lain mereka merasa terjebak di dalam tubuh yang dimilikinya di saat ini. Meraka tidak menyukai pakaian dan aktifitas yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Ia dapat mencoba berpindah ke kelompok gender yang berbeda bahkan dapat mengimginkan operasi untuk mengubah tubuhnya agar ssuai dengan identitas gendernya. Ketika identitas gender bermula di masa kanak-kanak, hal itu di hubungkan dengan banyaknya perilaku lintas-gender, seperti berpakaian ataupun beraktifitas seperti lawan jenis. Gangguan identitas gender pada anak-anak biasanya dapat terdeteksi oleh orang tua ketika anak berusia antara 2 hingga 4 tahun (Green&Blanchhard,1955). Dan gangguan ini terjadi enam kali lebih banyak terjadi pada anak laki-laki di bandingkan anak perempuan (Zucker, Bradley,& Sanikhani,1997).
Karakteristik Identitas Gender
Orang dengan gangguan identitas gender, atau biasa disebut transeksual, merasa bahwa  dirinya adalah anggota jenis kelamin yang berlawanan. Orang dengan gangguan identitas gender tidak menyukai pakaian ataupun aktivitas yang biasa di lakukan orang dengan jenis kelaminnya, dan sering memilih untuk melakukan cross-dressing. Transeksual pada umumnya mengalami kecemasan atau depresi, yang kemungkinan berkaitan dengan perlakuan yang negative yang di dapat dari masyarakat. Gangguan identitas gender biasanya di mulai pada masa kanak-kanak dan dapat terdeteksi oleh orang tua sejak usia 2 hingga 4 tahun (Green & Blanchard,1995). Gangguan identitas gender lebih banyak terjadi pada laki-laki, dengan perbandingan 6:1 (Zucker, Bradley,& Sanikhani,1997).
Penyebab
Saat ini, masih belum ada pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentative bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat memberikan mengantribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon ( Carol,2000). Faktor biologis lain, seperti kalainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.
Faktor lain yang di anggap dapat di sebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor social dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan croos-dressing, misalnya, kemungkinan enkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sek anak dan identitas gender yang di perolehnya (Green,1974,1997; Zuckerman & Green,1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki di besarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan ,dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki . Dapat pula penyebabnya karena mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya akibat keinginan orang tua terhadap jenis kelamin berbeda atau kurangnya teman bermain yang sejenis selama tahun awal sosialisasi.
Terapi
·         Body Alterations
Pada terapi jenis ini, usaha yang di lakukan adalah mengubah tubuh seseorang agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang terlebih dahulu diharuskan untuk mengikuto psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan (Harry Benyamin Internasional Gender Dysphoria Assosiation,1998). Perubahan yang di lakukan antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk membuang rambut di wajah, serta mengomsusian hormone perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan operasi perubahan kelamin. Keuntungan operasi kelamin telah banyak diperdebatkan selama bertahun-tahun. Di satu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan social yang bisa di dapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa pada umumnya transeksual tidak menyesal telah menjalani operasi, serta mendapatkan keuntungan lain seperti kepuasan seksualyang lebih tinggi.
·         Pengubahan Identitas Gender
Walaupun sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai terapi, ada kalanya transeksual memilih untuk melakukan pengubahan identitas gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada awalnya, identitas gender di anggap mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah. Namun dalam beberapa kasus, pengubahan identitas gender melalui behavior therapy di laporkan sukses. Orang –orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda dengan transeksual lain, karena mereka memilih untik mengikuti program terapi pengubahan identitas gender. Gangguan identitas Gender atau rtanseksualisme adalah ketidakpuasan psikologis terhadap gender biologisnya sendiri, gangguan dalam memahami identitasnya sendiri, sebagai laki-laki atau perempuan.
Tujuan utamanya bukan rangsangan seksual tetapi lebih berupa keinginan untuk menjalani kehidupan lawan jenisnya. Biasanya yang bersangkutan merasa seolah terperangkap dalam tubuh dengan jenis kalamin yang salah.
Dibeberapa budaya,individu dengan identitas gender yang keliru sering di kaitkan dengan kemampuan cenayang atau peramal dan diperlakukan sebagai figure yang dihormati namun jarang justru dijadikan objek ingin tahu, cemoohan hingga sasaran kekerasan.
Gangguan identitas gender “berbeda” dengan individu interseks atau hermaphrodite di mana yang bersangkutan terlahir dengan alat kelamin yang tidak jelas akibat abnormalitas hormonal atau abnormalitas lainnya. Sebaiknya individu dengan gangguan identitas gender tidak menunjukkan abnormalitas fisik.
Para ilmuan belum menemukan adanya peran biologis yang spesifik terhadap gangguan identitas gender. Untuk pemulihan, dengan ataupun tanpa bantuan terapis, dilakukan kalibrasi ulang terhadap orientasi gender yang sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya.
Itu sebabnya izin untuk membatalkan sugesti yang mengatakan terperangkap pada tubuh yang salah dan mengembalikan orientasi gender sesuai dengan jenis kelamin yang di milikinya, harus datang dari dalam diri yang bersangkutan.
Gangguan identitas gender menurut psikologis adalah ketidak puasan psikologis terhadap gender biologisnya sendiri, gangguan dalam memehami identitasnya sendiri sebagai laki-laki atau perempuan. Tujuan utamanya bukan rangsangan seksual tetepi lebih berupa keinginan untuk menjalani kehidupan lawan jenisnya.
Esensi maskulinitas atau femininitas adalah perasaan pribadi yang tertahan dalam yang disebut identitas gender.
Gangguan identitas gender muncul bila gender fisik seseorang tidak konsisten dengan sense identitas orang itu. Orang-orang dengan gangguan ini terperangkap dalam tubuh orang dengan jenis kelamin yang salah.
Gangguan identitas grnder atau yang dulu disebut transeksualisme harus di bedakan dengan fitisisme transvestik Yitu sebuah gangguan parafilik di mana orang-orang, biasanya laki-laki terangsang secara seksual dangan mengenakan perlengkapan pakaian  yang berhubungan dengan lawan jenis. Dalam kasus  gangguan identitas gender, tujuan utamanya bukan seksual  tetapi lebih keinginan untuk menjalani kehidupan lawan jenis kelaminnya.
Gangguan identitas gender juga harus dibedakan dengan pola rangsangan homoseksual dan tingkah laku maskulin. Individu semacam itu tidak merasa sebagai perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki atau mamiliki keinginan untuk menjadi perempuan (atau sebaliknya).
Berlawanan dangan ini di budaya Barat,toleransi social terhadap mereka relative rendah. Perlakuan terbaik bagi mereka adalah mereka di jadikan sebagai objek keingintahuan dan perlakuan terburuknya adalah menjadikan mereka sebagai bahan cemoohan atau bahkan sasaran kekerasan.
Gangguan gender, misalnya waria. Dari sudut psikologi-ilmiah, waria “condong” digolongkan pada gangguan identitas jenis (gender identity disorders). Gangguan ini di tandai dengan adanya perasaan tidak senang terhadap jenis kelamin. Dengan begitu, ia berperilaku seperti seperti lawan jenisnya.
Yang masuk dalam golongan ini adalah; transeksualisme, gangguan identitas jenis masa anak-anak  (pratran-seksualisme) dan gangguan identitas jenis tidak khas (Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa. Tim Direkrorat kesehatan Jiwa, edisi II, cetakan pertama,1985 halaman 223).
Perasaan tidak suka pada jenis kelamin ini bukan karena alat kelaminnya terlalu kecil atau tidak aktif, sehingga si empunya tidak mendapat kepuasan, tetapi karena ia merasa alat kelaminnya tidak pada tempatnya. Dan perasaan terus selalu menggaggu, sehingga ada keinginan untuk menghilangkan kelaki-lakiannya (kalau ia merasa perempuan), atau sebaliknya.
Di kalangan awam, tidak sedikit yang memehami atau mempertautkan waria dengan homoseks, seakan-akan waria identik dangan gay. Padahal, waria dan gay merupakan fenomena yang terpisah, betapapun dalam hal-hal tertentu keduanya masih dapat di golongkan sebagai penyimpangan seksual. Untuk itu ada baiknya kita lihat penggolongan gangguan yang lain sebagai pembanding golongan identitas jenis , sehingga pemahaman akan waria semakin jelas dan gamblang.

B. Parafilia
Kata parafilia (pharafilia) di ambil dari akar bahasa Yunani “para”, yang artinya “pada sisi lain”, dan “philos” artinya “mencintai”. Pda parafilia orang menunjukkan keterangsangan seksual (mencintai) sebagai respons terhadap stimulus yang tidak biasa (pada sisi lain dari stimulus normal ). Menurut  DSM-IV, parafilia melibatkan dorongan dan fantasi seksual yang berulang dan kuat , yang bertahan selama 6 bulan atau lebih yang berpusat  pada : (1) objek bukan manusia seperti pakaian dalam, sepatu, kulit, atau sutera, (2) perasaan merendahkan atau menyakiti diri sendiri atau pasangannya, atau (3) anak-anak dan orang lain yang tidak dapat atau tidak mampu memberikan persetujuan. Meskipun untuk menegakkan diagnosis ini tidak di butuhkan kenyataan bahwa dorongan parafilia tersebut didemonstrasikan (orang dapat merasa distress dengan adanya dorongan tersebut tetapi tidak mendemonstrasikannya), orang dengan parafilia sering kali menampilkan perilaku terbuka seperti ekshibisionisme dan voyeurisme.
Sejumlah penderita parafilia dapat melakukan fungsi seksual tanpa kehadiran stimulus atau fantasi parafilia. Sementara yang lainnya menggunakan stimulus parafilia saat berada di bawah stress atau tekanan. Tetapi ada beberapa orang yang tidak dapat terangsang kecuali jika menggunakan stimulus ini, baik secara nyata atau dalam fantasi. Bagi sejumlah individu, parafilia adalah cara ekslusif untuk mencapai kepuasan seksual. Kecuali masokisme seksual dan beberapa kasus khusus dari gangguan lain, parafilia hampir tidak pernah di diagnosis pada wanita (Saligma & Hardenburg, 2000). Bahkan pada mesokisme, diperkirakan bahwa pria yang mendapatkan diagnosis ini lebih banyak daripada wanita dengan rasio 20 banding 1 (APA,2000).
Sejumlah penderita parafilia secara relative tidak berbahaya dan tidak menyebabkan jatuh korban. Diantaranya terdapat fetihisme dam vetihisme transvetik. Sedangkan yang lain, seperti ekshibionisme dan pedofilia, melibatkan orang lain sebagai korban. Parafilia yang paling berbahaya adalah sadism seksual yang dilakukan dangan pasangan tanpa persetujuannya. Voyeurisme terletak di antaranya, karena “korban” tidak mengetahui kalau dia sedang diintip.
Parafilia merupakan sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktifitas seksual yang tidak pada umumnya. Dengan kata lain terdapat deviasi dalam ketertarikan seseorang. Fantasi, dorongan, atau perilaku harus berlangsung setidaknya 6 bulan dan menyebabkan distress. Seseorang dapat memiliki perilaku, fantasi, dan dorongan seperti yang di miliki seseorang parafilia (seperti memamerkan alat kelamin kepada orang asing yang tidak memiliki kecurigaan apapun), tidak didiagnosis menderita parafilia jika fantasia tau perilaku tersebut tidak dilakukan berulang.
Banyak orang sering kali mengalami lebih dari satu parafilia dan pola semacam itu dapat merupakan aspek gangguan mental lain, seperti skizofrenia, depresi atau salah satu gangguan kepribadian. Telah diakui bahwa sebagian besar pengidap parafilia apapun orientasi seksualnya adalah laki-laki.  Hal ini dikarenakan bahwa para pengidap parafilia mencari pasangan yang tidak begitu saja menurutinya atau dengan melanggar  hak orang lain  secara ofensif. Gangguan ini sering kali memiliki konsekuensi hokum.
I.                   Fetihism
Fetihism melibatkan ketergantungan pada objek yang tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual. Objek yang dibutuhkan untuk memperoleh rangsangan seksual tersebut disebut fetishes, dan bentuknya beragam, misalnya kaki dan sepatu, sticking, ataupun pakaian dalam. Munculnya fetish sangat di sukai atau bahkan di butuhkan untuk terjadinya rangsangan seksual. Ketertarikan terhadap fetishes memiliki kualitas kompulsif, yaitu involuntary dan tidak dapat di tahan.
Gangguan hampir selalu muncul pada laki-laki. Pada umumnya, fetihisme dimilai pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah di anggap signifikan pada masa yang lebih awal. Kebanyakan fetish menampilkan pula parafilia lainnya, seperti paedofilia, sadism, atau mesokisme (Mason,1997).
Kasus Transvestik Fetihisme (contoh kasus)
Archie adalah tukang pipa berusia 55 tahun yang telah memakai pakaian lawan jenis selama bertahun- tahun. Ada di saat-saat di mana ia pergi ketempat umum sebagai wanita, tetapi ketika ia semakin di kenal oleh masyarakat, ia semakin takut hal itu diketahui oleh masyarakat umum. Istrinya, Myrna, mengetahui “dosa kecilnya”, terutama ketika ia meminjam banyak pakaiannya. Dan istrinya juga mendorongnya untuk tinggal di rumah, menawarkan bantuan untuk mengatasi “keanehannya”. Untuk beberapa tahun, parafiliannya telah di batasi di rumah. Pasangan tersebut datang ke klinik atas desakan istrinya. Myrna menggambarkan bagaimana Archie telah memaksakan kehendaknya pada Myrna selama 20 tahun. Archie akan memakai pakaian dalam istrinya dan bermansturbasi sambil Myrna mengataka betapa menjijikannya dia. (Pasangan itu jaga melakukan hubungan seksual yang normal secara teratur, yang dapat dinikmati Myrna.) Situasi memakai pakaian llawan jenis telah menjadi kritis karena anak perempuan remaja mereka hampir saja masuk ke dalam kamar pasangan tersebut ketika mereka sedang mewujudkan fantasi Archie.
Ketika Myrna keluar dari ruang konsultasi, Archie menjelaskan bagaimana ia dibesrkan dalam keluarga dengan beberapa kakak perempuan. Ia menggambarkan bagaimana pakaian dalam selalu tergantung di sekitar kamar mandi untuk dikeringkan. Sebagai remaja, Archie pernah memiliki pengalaman menggosok-gosok pakaian dalam, kemudian mencoba mengenakannya. Pada satu ketika, salah seorang kakanya masuk pada saat  Archie sedang mencoba pakaian dalam di depan kaca. Ia mengatakan pada Archie bahwa Archie adalah “sampah masyarakat” dan Archie langsung mengalami kepuasan seksual. Ia nermasturbasi ketika kakanya meninggalkan kamar, dan orgasme yang dialaminya adalah yang terkuat pada masa mudanya.
Archie tidak derpikir bahwa ada yang salah dengan memakai pakaian dalam wanita danbermasturbasi. Ia juga tidak ingin menghentikannya, tanpa memikirkan apakah hal ini dapat menghancurkan pernikahannya. Kepedulian Myrna yang paling utama adalah memisahkan dirinya sendiri dari “penyakit” Archie. Ia tidak peduli apakah Archie akan melakukannya lagi, asalkan Archie melakukannya sendiri,”semua sudah cukup” katanya.
IItulah kompromi yangtelah di lakukan oleh pasangan tersebut dalam terapi pernikahan. Archie akan melakukan fantasinya seorang diri. Ia akan memilih waktu ketika Myrna tidak ada di rumah, dan Myrna tidak akan diberi tahu mengenai aktifitasnya. Archie juga akan sangat, sangat hati-hati untuk memilih waktu ketika anak-anak sedang tidak berada di rumah.
Enam bulan kemudian, pasangan tersebut masih bersama dan merasa nyaman satu sama lain. Archie telah mengganti peranan Myrna dalam fantasinya dengan majalah transvektik-sadomasokistik. Myrna mengatakan. “Saya tidak melihat kejahatan, tidak mencium kejahatan”. Mereka masih terus melakukan hubungan seksual. Setelah beberapa saat, Myrna bahkan telah lupa untuk memeriksa dan melihat pakaian dalamyang mana yang telah digunakan.
II.                Transvestic Fetishism
Merupakan gangguan saat seorang laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri sebagai laki-laki. Transvestis selalu heteroseksual dan, selain saat memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan,perilaku, dan preferensi seksual yang maskulin.
III.             Pedofilia dan Inses
Pedofilia adalah orang dewasa yang memperoleh kepuasan seksual yang melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Hasil penelitian oleh Marshall(1997) menunjukkan bahwa, bertentangan dengan pernyataan DSM bahwa seluruh paedofil lebih suka pada anak- anak prapubertas, sebagian paedofil menyerang ana-anak yang telah melewati masa puber. Hal ini di lakukan untuk  mendapatkan pengalaman melakukan seks dengan orang dewasa. Inses mengacu pada hubungan seksual antara keluarga dekat, di mana pernikahan tidak diperbolehkan antara mereka. Biasanya adalah kakak dan adik, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah ayah dengan anak perempuan. Bukti menunjukkan struktur keluarga dimana inses yang terjadi adalah patriakal yang tidak biasa dan tradisional, terutama dengan memandang posisi perempuan yang lebih rendah dari pada laki-laki (Alexander & Lupfer,1997). Orang dalam keluarga semacam ini akan cenderung menolak dan berjarak secara emosional dengan anak mereka.
IV.             Veyeurism
Adalah preferensi yang nyata untuk memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual. Pada beberapa orang, hal ini merupakan satu-satunya aktifitas seksual di mana mereka terlibat. Sementara bagi orang lain, kegiatan ini disukai namun tidak sepenuhnya penting untuk meraih rangsangan seksual (Kaplan & Kreuger,1997). Orang yang mengalami gangguan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat melihat kejadian ataupun saat membayangkan.
V.                Eksibionisme
Merupakan preferensi mendapatkan kepuasan seksual dengan memperlihatkan organ genetikal kepada orang yang tidak dikena, atau dengan membayangkan hal tersebut. Dalam sebagian besar kasus, terdapat keinginan untuk membuat terkejut atau mempermalukan orang yang melihat. Pada eksibionis, dorongan untuk mengekspose bersifat komulsif dan selain oleh rangsangan seksual, dipicu juga oleh kecemasan. Pada saat melakukan exposure, eksibionis bisa tidak menyadari konsekuensi social dan hukum dari apa yang dilakukannya (Stevenson & Jones,1972). Eksibionisme umumnya mulai muncul pada masa remaja (Murphy,1997). Sebagian besar eksibionis adalah laki-laki, dan pada umumnya tidak dewasa dalam pendekatan kepada lawan jenis, serta memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal. Lebih dari separuh eksibisionis adalah telah menikah, namun memiliki hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan pasangan ( Mohr, Turner, & Jerry, 1964).
Sebuah kasus Eksihibiosinisme (contoh kasus)
Michael berusia 26 tahun, tampan berwajah kekanak-kanakan, menikah dan memiliki anak perempuan berusia 3 tahun.  Ia telah menghabiskan seperempat hidupnya di sekolah asrama dan penjara. Pada masa remaja, ia sering membuat keributan. Sebagai orang dewasa muda, ia mulai mengekspose dirinya. Ia pergi ke klinik tanpa sepengetahuan istrinya karana ia telah semakin mengekspose dirinya_ lebih dari tiga kali sehari, dan ia takut bahwa pada akhirnya ia akan di tangkap dan akan dimasukkan ke penjara lagi.
Michael mengatakan ia menyukai hubungan seks dengan istrinya, tetapi tidak sama menyenangkannya di bandingkan jika ia menekspose dirinya.Ia tidak dapat mencegah perilaku ekshibisionisnya, terutama sekarang, ketika ia sedang tidak bekerja dan khawatir tentang dari mana keluarganya dapat membayar uang sewa untuk bulan depan. Ia mencintai anaknya lebih dari apapun dan tidak dapat menahan pikiran bahwa ia akan dipisahkan dari anaknya.
Cara yang dilakukan oleh Michael adalah sebagai berikut: Ia akan mencari remaja wanita tang ramping, biasanya sekitar usia SMP dan SMA. Ia akan mengeluarkan penisnya dari celana dan memainkannya sambil menyetir kea rah orang atau sekelompok kecil anak perempuan. Ia akan menurunkan kaca jendela mobilnya, meneruskan bermain dengan dirinya, dan menanyakan arah pada mereka. Terkadang anak-anak itu tidak melihat penisnya. Namun hal itu tidak apa-apa. Terkadang mereka melihatnya dan tidak bereajsi apa-apa. Hal itu juga tidak apa-apa. Ketika mereka melihatnya dan menjadi terganggu serta takut, itu adalah hal yang terbaik dari semuanya. Ia akan memulai bermaturbasi lebih keras lagi, dan ia dapat mrngatur ejakulasinya sebelum anak-anak itu pergi.
Michael memiliki sejarah yang tidak baik. Ayahnya meninggalkan rumah sebelum ia lahir, dan ibunya menjadi pemabuk berat. Ia keluar masuk panti asuhan selama masa kanak-kanknya, “di semua” distrik utama di bagian new York. Sebelum ia berusia 10 tahun, ia terlibat dalam aktifitas seksual dengan anak laki-laki tetangganya. Sering ksli, anak laki-laki juga memaksa anak perempuan tetangganya untuk melakukan petting, dan perasaan Michael bercampur aduk  saat anak tersebut marah. Ia merasa tidak enak karenanya, tetapi ia juga menikmatinya. Beberapa kali anak perempuan tersebut terlihat takut melihat penisnya, dan hal tersebut membuatnya merasa “seperti laki-laki sejati. Untuk melihat pandangan seperti itu, kalihan tahu, dari anak perempuan, bukan wanita, tetapi anak perempuan_ anak perempuan yang ramping, itulah yang saya cari”.
Orang yang didiognosis mengidap ekshibisionisme biasanya tidak tertarik pada kontak seksual actual dengan korban dan kerena itu biasanya tidak berbahaya. Namun begitu, korban dapat merasa bahwa dirinya dalam bahaya besar dan dapat mengalami trauma karena peristiwa itu. Saran yang paling untuk korban adalah untuk tidak menunjukkan reaksi apapun pada orang yang mengekspose dirinya dan tetao bersikap biasa saja, jika memungkinkan. Tidak bijaksana untuk menghina orang yang mempertontonkan dirinya, bahkan hal itu dapat membangkitkan reaksi kekerasan. Juga tidak di anjurkan untuk menunjukkan reaksi terkejut atau takut yang berlebihan ; hal ini cenderung mendorong orang tersebut untuk semakin mempertontonkan dirinya.
Sejumlah peneliti melihat ekshibisionisme sebagi cara tidak langsung untuk menunjukkan kekerasan pada wanita, mungkin kerena memiliki persepsi yang salah tentang wanita pada masa lalu atau karena tidak di perhatikan atau tidak di anggap serius oleh wanita (Geer, Heiman,& Laitenberg,1984). Pria dengan gangguan ini cenderung pemalu, tergantung, serta kurang memiliki ketrampilan social dan seksual, bahkan terhambat secara social (Dwyer,1988). Sejumlah orang meragukan maskulinitas mereka dan memiliki perasaan ferior. Rasa jijik atau ketakutan korban membangkitkan rasa menguasai situasi dan meningkatkan rangsangan seksual mereka. Kasus berikut merupakan contoh dari ekshibionisme.
VI.             Frotteurism
Melibatkan kegiatan menyentuh orang lain secara seksual. Biasa di lakukan di tempat-tempat ramai seperti kendaraan umum atau trotoar, seorang frotteur dapat mengusap payudara dan alat kelamin seorang perempuan, atau menyentuhkan penisnya sendiri pada paha atau pantat orang tersebut.
Sebuah Kasus Froterisme (contoh kasus)
Seorang pria berusia 45 tahun dikunjungi oleh seorang psikiater pada saat di tahan untuk kedua kalinya karena menggosok-gosokkan dirinya pada seorang wanita di kereta bawah tanah. Ia akan memilih target seorang wanita pada usia 20-an ketika memasuki stasiun kereta bawah tanah. Kemudian ia akan memposisikan dirinya di belakang wanita tersebut pada tempat menuggu kereta tiba. Kemudian ia akan mengikutinya ke dalam kereta dan ketika pintu tertutup, ia akan memulai menabrakkan dirinya ke pantat wanita tersebut, sambil membayangkan mereka sedang menikmati hubungan seksual di mana mereka saling mencintai. Ia dapat mencapai orgasme pada sekitar lima puluh persen dari aktifitas yang di lakukannya. Kemudian ai akan melanjutkan perjalananya ke kantor. Terkadang ketika ia tidak dapat mencapai orgasme, ia akan berganti kereta dan mencari korban lainnya. Meskipun ia merasa bersalah untuk beberapa saat setelah setiap episode, ia akan segera terpaku dengan pikiran tentang tindakan selanjutnya. Ia tidak pernah memikirkan apa yang di rasakan korbannya mengenai apa yang telah ia lakukan pada mereka. Meskipun ia menikah dengan wanita yang sama selama 25 tahun, ia terlihat janggal dan tidak asertif dalam hubungan social, terutama dengan wanita.
VII.          Sadisme dan Masokisme Seksual
Sadisme seksual di tandai dengan preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik secara fisik ataupun mental. Berbeda dengan pada sadism, objek yang di sakiti pada orang dengan masokisme seksual adalah diri sendiri.
Mayoritas orang dengan sadism menjalin hubungan dengan mesokis demi mendapatkan kepuasan seksual bersama. Pada hubungan tersebut, terdapat cerita atau “naskah” yang telah disetujui bersama-sama. Misalnya orang dengan sadism berperan sebagai guru yang disiplin, sedangkan orang yang mesokisme berperan sebagai murid yang nakal dan perlu di hokum. Contoh kegiatan yang di lakukan  adalah pencambukkan, pukulan, mempermalukan, dan lain-lain. Pada beberapa kasus, seorang dengan sadism di penjarakan sebagai sex offender yang menyiksa korbannya, dan mendapatkan kepuasan seksual dari perbuatannya (Dietz, Hazelwood,& Warren,1990). Di bandingkan dengan sex offenders lain, orang dengan sedisme seksual lebih sering berkedok sebagai polisi, melakukan pembunuhan berseri, mengikat korban, serta membunyikan mayat (Gratzer & Bradford,1995).
VIII.           Mesokisme Sosial
Mesokisme sosisal (sexual masochism), berasal dari nama seorang Novelis Austria, Leopold Ritter von Sacher-Masoch (1836-1895), yang menulis cerita dan novel tentang pria yang mencari kepuasan seksual dari wanita yang memberikan rasa nyeri dan sakit pada dirinya, sering dalam bentuk flagellation (dipukul atau dicambuk). Masokisme seksual melibatkan dorongan kuat yang terus-menerus dan fantasi yang terkait dengan tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan, diikat dicambuk, atau di buat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu dapat berupa tindakan yang menyebabkan atau didasari oleh distress personal. Pada sejumlah kasus masokisme seksual, orang tersebut tidak dapat mencapai kepuasan seksual jika tidak ada rasa sakit atau malu.
Pada sejumlah kasus, masokisme seksual melibatkan situasi mengikat atau menyakiti diri sendiri pada saat masturbasi atau berfantasi seksual. Pada kasus lain, pasangan diminta untuk mengikat (membatasi gerak), menutup mata (membatasi sensori), memukul, atau mencambuk seseorang. Sejumlah pasangan adalah pekerja sex; yang lain adalah pasangan resmi yang diminta untuk melakukan peran atau menjadi objek penganiayaan verbal dengan tujuan mendapatkan kepuasan seksual.
Ekspresi masokisme yang paling berbahaya adalah hipoksifilia (hypoxyhilia), di mana partisipan merasa terangsang secara seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya misalnya dengan menggunakan jerat, kantung plastik, bahan kimia, atau tekanan pada dada saat melakukan aktivitas seksual, seperti masturbasi. Pengurangan oksigen biasanya disertai dengan fantasi sesak napas atau dengan dibuat sesak napas oleh pasangannya. Orang yang melakukan aktifitas ini biasanya menghentikannya sebelum mereka kehilangan kesadaran, tetapi terkadang kematian karena kehabisan napas juga terjadi akibat salah perhitungan (Blanchard & Hucker,1991).
Perspektif Teoritis
Para teoritikus psikodinamika melihat banyak parafilia sebagai pertahanan terhadap kecemasan kastrasi yang tersisa dari periode Oedipal. Pikiran akan hilangnya penis di dalam vagina secara tidak sadar disamakan dengan kastrasi. Orang yang memiliki kelainan parafilia memungkinkan menghindar dari ancaman kecemasan kastrasi ini dengan memindahkan rangsangan seksual pada aktifitas yang lebih aman, sebagai contoh, pakaian dalan, anak-anak,atau memperhatikan atau menonton orang lain. Dengan melindungi penisnya di dalam pakaian wanita, pria dengan fetihisme transvestik melakukan tindakan simbolis dari pengingkaran bahwa wanita tidak mempunyai penis, di mana hal ini dapat mengurangi kecemasan akan kastrasi dengan secara tidak wajar memberikan bukti atas keselamatan wanita (dan dirinya sendiri). Rasa terkejut dam kekuatan yang di tunjukkan oleh korban dari pria ekshibionism secara tidak sedar memberikan kepastian bahwa ia memang memiliki penis. Sadisme melibatkan pengidentifikasian, secara tidak sadar, pada ayah penderita yang merupakan “pemicu” fantasi Oedipal dan sadism mengurangi kecemasan dengan memberikan kesempatan untuk memainkan peran sebagai yang mengkastrasi. Beberapa teoritikus psikoanalistik melihat masokisme sebagai cara untuk mengatasi perasaan tentang seks yang saling bertentangan. Secara mendasar, seseorang merasa bersalah akan seks, tetapi mampu akan menikmatinya sepanjang ia dihukum karana melakukan itu. Orang lain memandang masokisme sebagai pengarahan kedalam impuls agresif yang sebenarnya ditujukan pada ayah yang berkuasa dan menakutkan, Seperti seorang anak yang merasa lega ketika hukumannya berakhir, penderita dengan senang menerima penghinaan dan hukuman sebagai pengganti kastrasi. Pandangan ini masih spekulatif dan controversial. Belun terdapat cukup bukti langsung yang menunjukkan bahwa pria dengan parafilia memiliki hambatan dalam mengatasi mengatasi kecemasan akan kastrasi.
Para teoretikus belajar menjelaskan parafilia dalam kaitannya dengan  conditioning dan observation learning. Sejumlah objek atau aktivitas secara tidak sengaja dihibingkan dengan rangsangan seksual. Objek atau aktivitas tersebut kemudian mendapatkan kapasitas untuk menimbulkan rangsangan seksual. Sebagai contoh, seorang anak laki-laki yang memandang stoking (Breslow, 1989). Pencapaian orgasme karena hadirnya objek menguatkan hubungan erotis yang ada, terutama ketika terjadi berulang kali. Namun jika kelainan fetish terjadi karena hubungan mekanis, kita dapat menduga orang akan mengembangkan fetish terhadap stimulus yang dengan tanpa sengaja dan berulang kali di hubungkan dengan aktivitas seksual, seperti sprei, bantal, bahkan langit-langit rumah. Tetapi tidak arti dari stimulis memainkan peran utama. Perkembangan perilaku fetish dapat tergantung pada pemberian arti erotis terhadap stimulus tertentu (seperti pakaian dalam wanita) dengan melibatkan stimulus-stimulus tersebut dalam fantasi seksual dan ritual masturbasi.
Fetish acap kali dapat dilacak pada masa kanak-kanakawal. Perhatikan perkembangan fetish karet. Reinisch (1990) menduga bahwa kesadaran akan rangsangan seksual atau respons seksual (seperti ereksi) yang pertama kali dapat dihubungkan dengan celana karet atau popok sehingga tercipta hubungan antara keduanya, menandakan suatu tahap perkembangan fetish.
Seperti pola lain dari perilaku abnormal, parafilia melibatkan faktor biologis, psikologis dan sosiokultural yang beragam. Money & Lamacz (1990) mengembangkan hipnotis model multifaktorial yang melacak perkembangan parafilia pada masa kanak-kanak. Mereka menyatakan bahwa pengalaman dimasa kanak-kanak menggoreskan polaatau “peta cinta”, yang mirip dengan program computer di dalam otak untuk menentukan jenis stimulus dan perilaku yang dapat merangsang seseorang secara seksual. Pada kasus parafilia, peta cinta menjadi “rusak” karena pengalaman traumatic pda masa kanak-kanak, seperti inses, penganiayaan fisik, pengabdian, atau pola membesarkan anak yang antiseksual secara keras. Namun tidak semua anak-anak yang mengalami pengalaman seperti itu mengembangkan parafilia. juga tidak semua orang dengan parafilia memiliki pengalaman traumatis seperti itu. mungkin sejumlah anaklebih rentan untuk mengembangkan peta cinta yang rusak dari pada yang lain. Penyebab yang pasti dari kerentaan tersebut masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pandangan Behavioral dan Kognitif
Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical conditioning, yang secara kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang di anggap tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia bersifat multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang. Sering kali orang dengan parafilia mengalami penyiksaan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak terganggu (Mason,1997; Murphy,1997). Pengalaman-pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap tingkat kemampuan social serta self- esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim yang sering terlihat pada parafilia (Kaplan& Kreuger,1997; Marshall,Serran,&Cortoni,2000). Kepercayaan bahwa seksual abuse pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk munculnya, ternyata, masih perlu ditinjau ulang. Berdasarkan penelitian, kurang dari sepertiga pelaku kejahatan seks merupakan korban sexual abuse sebelum mencapai usia18 tahun.
Distrosi kognitif juga memiliki peran dalam pembentukkan parafilia. Orang dengan parafilia dapat membuat berbagai pembenaran atas perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu, berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan social yang tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau orang lain.
Tipe Utama Parafilia
Pola yang tidak biasa atau menyimpang dari pemuasan seksual, kecuali masokisme, gangguan ini terjadi hampir seluruhnya pada pria.
  1. Ekshibisionisme
Kepuasan seksual dengan mempertunjukkan alat genitalnya di depan umum.
  1. Voyeurisme
Kepuasan seksual dengan mengobservasi orang lain yang tidak di kenal sedang telanjang, membuka pakaian atau terangsang secara seksual.
  1. Masokism aseksual
Kepuasan seksual dihubungkan dengan menerima penghinaan atau rasa sakit.
  1. Fetishisme
Ketertarikan seksual pada objek bukan manusia atau bagian tubuh tertentu.
  1. Froterisme
Kepuasan seksual dihubungkan dengan tindakan menempelkan atau menggosok-gosokkan diri pada orang lain tanpa izin.
  1. Sadisme seksual
Kepuasan seksual dihubungkan dengan menimbulkan penghinaan atau rasa sakit pada orang lain.
  1. Fetishisme transvestik
Kepuasan seksual dihubungkan dengan menggunakan pakaian dari lawan jenis.
  1. Pedofilia
Ketertarikan seksual pada anak-anak.
Pendekatan Penanganan
  1. Perspektif Teori Belajar
    • Stimulus yang tidak biasa menjadi stimulus terkondisi untuk rangsangan seksual akibat pemasangannya dengan aktivitas seksual di masa lalu.
    • Stimulus yang tidak biasa dapat menjadi erotis dengan cara melibatkannya dalam fantasi erotis dan masturbasi.
  2. Perspektif Psikodinamika
Kecemasan kastrasi yang tidak terselesaikan dari masa kanak-kanak yang menyebabkan rangsangan seksual dipindahkan pada objek atau aktivitas yang lebih aman.
  1. Perspektif Multitaktor
Penganiayaan seksual atau fisik pada masa kanak-kanak dapat merusak pots rangsangan seksual yang normal.
Faktor Penyebab
  1. Penanganan
Antidepresan untuk membantu individu mengontrol dorongan seksual yang menyimpang atau mengurangi dorongan Biomedik seksual.
  1. Terapi Kognitif
Termasuk aversive conditioning (memasangkan stimulus menyimpang dengan stimulus aversif), sensitisasi tertutup.
  1. Behaviors
Memasangkan perilaku yang tidak diharapkan dengan stimulus aversif dalam imajinasi dan metode nonaversif yang membantu individu mencapai perilaku yang lebih adaptif.
Penanganan Parafilia
Orang dengan parafilia biasanya tidak mencari pananganan atas keinginan sendiri. Mereka biasanya menerima penanganan di penjara setelah mereka divonis melakukan penyerangan seksual atau mereka dirujuk ke sebuah penyedia penanganan oleh pengadilan. Dalam kondisi ini, tidak mengherankan bahwa pelaku penyerangan seksual sering kali melawan atau menolak penanganan. Terapis menyadari bahwa penanganan dapat menjadi sia-sia, jika klien kurang termotivasi untuk mengubah perilaku mereka. Namun demikian, bukti menunjukkan bahwa sejumlah bentuk penanganan, terutama terapi perilaku dan terapi kognitif-behavioral (CBT), dapat membantu pelaku penyerangan seksual yang ingin mengubah perilaku mereka.
Salah satu teknik behavioral yang digunakan untuk menangani parafilia adalah aversive conditioning. Tujuan dan penanganan ini adalah membangkitkan respon emosional negatif pada stimulus atau fantasi yang tidak tepat. Dalam teknik ini, stimulus yang membangkitkan rangsangan seksual (misalnya celana dalam) dipasangkan berulang kali dengan stimulus aversif (misalnya kejutan listrik) dengan harapan agar stimulus tersebut juga akan menjadi stimulus aversif. Keterbatasan mendasar dari aversive conditioning adalah hal ini tidak dapat membantu individu untuk mendapatkan perilaku yang lebih adaptif sebagai ganti dari pola respon maladaptif. Ini dapat menjelaskan mengapa peneliti menemukan bahwa program kognitif-behavioral Yang lebih luas yang ditujukan untuk menangani ekshibi~ionisme dan menekankan pada pengembangan pemikiran adaptif, keterampilan sosial, dan keterampilan mengatasi stress lebih efektif daripada program lain yang didasarkan pada terapi aversif (Marshall Eceles & Barbarce, 1991). Sensitisasi tertutup (covert sensitization) adalah variasi dari aversive conditioning di mana pemasangan stimulus aversive dengan perilaku bermasalah terjadi dalam imajinasi.
Maletzky (1991, 1998) melaporkan angka keberhasilan dari studi program penanganan terbesar hingga saat ini, berdasarkan pada lebih dari 7000 kasus pemerkosa dan pelaku penyerangan seksual yang mengidap parafilia. Penanganan melibatkan berbagai macam teknik behavioral, termasuk aversive conditioning dan metode non-aversif, untuk membantu individu memperoleh perilaku yang lebih adaptif. Meskipun angka keberhasilan dilaporkan melebihi (80%), kriteria kesuksesan sabagian tergantung pada laporan dari penderita (self-report) akan tidak adanya minat atau perilaku seksual yang menyimpang. Seperti yang kita ketahui, self report dapat menjadi bias utama dalam kelompok pelaku penyerangan. Kedua, dengan kurangnya kelompok kontrol, kita dapat mengurangi kemungkinan bahwa faktor lain, seperti ketakutan akan konsekuensi hukum mempengaruhi hasil terapi.
Sejumlah hasil yang menjanjikan juga dilaporkan dalam penggunaan obat antidepresan Prozac dalam menangani voyrurisme dan ferishisme (Eorerice, 1991 , Perilstein, Lipper, Lipper & Friedman, 1991). Mengapa Prozac? Prozac telah digunakan secara efektif dalam menangani gangguan obsesif-kompulsif. Peneliti memperkirakan bahwa parafilia berada dalam spektrum obsesif-kompulsif. Orang yang mengidap parafilia terpaksa untuk mengeluarkan tindakan parafilia, dalam cara yang hampir sama dimana penderita gangguan obsesif-kompulsif merasa disetir untuk menampilkan tindakan kompulsif. Penderita parafilia juga cenderung memiliki kualitas obsesional. Orang mengalami dorongan yang mengganggu dan berulang untuk terlibat dalam tindakan atau pikiran parafilik yang berhubungan dengan objek atau situasi parafilia. Namun, Maletzky (1998) memperingatkan bahwa obat-obatan ini berdampak pada penurunan dorongan seksual dan bukan secara spesifik ditujukan untuk mengurangi fantasi seksual yang menyimpang.
Terapi Parafilia
Karena sebagian besar parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk penjara, dan diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku kejahatan seks tersebut seringkali kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan terapis untuk meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991) :
a)      Berempati terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum
b)      Memberitahukan jenis-jenis perawatan membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan timbul apabila tidak dilakukan treatment
c)      Memberikan intervensi paradoksikal, dengan mengekspresikan keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk menjalani perawatan
d)     Menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien; dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan atau diakui oleh pasien (Gerland & Dougher, 1991).
Terdapat beberapa jenis perawatan untuk parafilia, yaitu terapi psikoanalitis, behavioral, kognitif serta biologis. Terdapat pula usaha hukum untuk melindungi masyarakat dari perilaku kajahatan seksual.
Terapi Psikoanalitik
Pandangan psikoanalisa beranggapan bahwa parafilia berasal dari kelainan karakter, sehingga sulit untuk diberi perawatan dengan hasil yang memuaskan. Psikoanalisa belum memberi kontribusi yang besar bagi penanganan parafilia secara efektif.
Teknik Behavioral
Para terapis dari aliran bahavioral mencoba untuk mengembangkan prosedur terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan pandangan bahwa parafilia merupakan ketertarikan terhadap objek seksual yang tidak pantas, prosedur yang dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik saat seseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan parafilia. Metode lain, disebut satiation; seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang. Kedua terapi tersebut, apabila digabungkan dengan terapi lain seperti pelatihan kemampuan sosial, dapat bermanfaat terhadap paedofilia, transvestisme, eksibisionisme, dan transvestisme (Brownell, Hayes, & Barlow, 1977 ; Laws & Marshall, 1991 ; Marks & Gelder, 1967 ; Marks, Gelder, & Bancroft, 1970 ; Marshall & Barbarce, 1990).
Cara lain yang dilakukan adalah orgasmie reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.
Penanganan Kognitif
Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program penanganan yang memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang.
Penanganan Biologis
Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru – baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan adalah medroxyprogesterone acetate ( MPA ) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun demikian terdapat masalah etis dari penggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine ( prozac ) telah digunakan, karena obat tersebut kadang – kadang efektif untuk mengobati obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari pikiran dan dorongan yang serupa dengan parafilia.
Usaha Hukum
Di Amerika, sebagai akibat dari tuntutan masyarakat, telah muncul hukum mengenai pelaku kejahatan seks. Dikenal sebagai Megan’s Law, hukum tersebut memungkinkan warga sipil untuk mendeteksi keberadaan mantan pelaku kejahatan seksual, yang dianggap berbahaya. Dengan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya tersebut di susun dalam sebuah cerita dengan berbagai aturan dan prosedur yang di sepakati bersama dan memiliki makna fiksional bagi keduanya, gangguan seksual dan identitas gender.
Gangguan Identitas Gender
Gangguan identitas gender atau gangguan identitas seksual merupakan keyakinan dalam diri individu bahwa struktur seksual anatomiknya dan rasa kedirian psikologis sebagai laki-laki atau perempuan tidak sama.
Contohnya : Seorang laki-laki yang mengidap GIG secara fisik laki-laki namun ia menganggap dirinya sebagai perempuan dan ingin hidup sebagai perempuan.
Karakteristik Gangguan Identitas Gender Atau Transeksualisme
  • Gangguan identitas gender umumnya timbul atau dapat di lihat pada masa kanak-kanak, hal itu berhubungan dengan banyaknya perilaku lintas gender, seperti berpakaian seperti lawan jenis, bermain permainan lawan jenis ( anak laki – laki bermain boneka ).
  • Gangguan identitas gender pada anak, biasanya teramati ketika anak berusia 2-4 tahun. Sebagian besar anak yang mengalami gangguan identitas gender tidak tumbuh sebagai pribadi yang terganggu, meskipun banyak yang menunjukkan ke arah orientasi homoseksual.
Orang yang mengalami GIG secara umum mengalami kecemasan dan depresi. Penyebab gangguan identitas gender :
  1. Faktor biologis (gangguan fisik, bawaan, lingkungan) GIG juga dapat dipengaruhi oleh hormon.
Misalnya :
-      Ketidakmampuan memproduksi suatu hormon untuk membentuk penis dan skrotum pada masa pertumbuhan janin oleh ibu semasa anak dalam kandungan.
-      Ibu yang mengonsumsi hormon seks saat hamil, biasanya digunakan untuk mencegah pendarahan rahim selama hamil.
  1. Faktor sosial dan psikologis
Peran lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya GIG. Misalnya : Ibu yang suka melihat anak laki-lakinya berpakaian seperti perempuan. Hal tersebut dapat menyebabkan anak bingung akan lagi yang dia miliki, yang dapat menyebabkan konflik lagi terhadap anak.
Selain itu bagaimana cara orang tua memperlakukan anaknya juga dapat mempengaruhi terjadinya GIG. Misalnya : Ibu yang menginginkan anak perempuan tapi melahirkan anak laki-laki, maka ia akan memperlakukan anaknya seperti anak perempuan.
Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual (sexual dysfunctions) meliputi masalah dalam minat, rangsangan, atau respon seksual. Kasus disfungsi seksual tersebar dalam masyarakat, dialami oleh 43% wanita dan 31% pria menurut survei nasional AS terbaru, (Laumann, Paik, & Rosen, 1999). Gangguan ini sering kali merupakan sumber disstres bagi orang yang mengalaminya dan bagi pasangan mereka. Ada beberapa tipe disfungsi seksual, tetapi semuanya cenderung memiliki sejumlah ciri yang sama, seperti yang dijabarkan dalam tabel 12.2. Tabel 12.3 menunjukkan angka perkiraan dari sejumlah tipe utama difungsi seksual berdasarkan sampel masyarakat Amerika saat ini.
Sejumlah kasus disfungsi seksual telah ada sepanjang hidup individu, dan karena itu diberi label disfungsi seumur hidup. Pada kasus disfungsi yang diperoleh (acquired disfunction), awal masalah terjadi setelah satu periode (atau setidaknya kemunculan satu kali) dari fungsi normal. Pada kasus disfungsi situasional, masalah muncul pada sejumlah situasi (sebagai contoh, dengan pasangan tertentu), tetapi tidak pada situasi yang lain (misalnya, dengan kekasih atau ketika bermasturbasi), atau pada saat-saat tertentu tetapi tidak pada saat lain.
Pada kasus disfungsi menyeluruh (generalized dysfunction), masalah muncul pada semua situasi dan pada setiap saat individu melakukan aktivitas seksual. Untuk mendapatkan sudut pandang mengenai disfungsi seksual, pertama-tama kami akan menjabarkan pola normal dari respon seksual. Kemudian kami mengeksplorasi berbagai tipe disfungsi seksual dan metode yang digunakan untuk menanganinya.
Siklus Respons Seksual
Disfungsi seksual mempengaruhi pemulaan atau penyelesaian siklus respons seksual. Sebagian besar pemahaman kita mengenai siklus respons seksual didasarkan pada hasil kerja William Masters dan Virginia Johnson yang merupakan perintis penelitian seks. Berdasarkan hasil kerja mereka dan beberapa orang lainnya, seperti terapis seks Helen Singer Kaplan, DSM menjabarkan siklus respons seksual dalam empat fase yang berbeda :
1)      Fase Keinginan
Fase ini melibatkan fantasi seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual. Timbulnya fantasi dan hasrat seksual adalah normal; pertanyaannya adalah “Seberapa besar (atau seberapa kecil) minat seksual yang dikatakan normal?”
2)      Fase Perangsangan
Fase ini melibatkan perubahan fisik dan perasaan nikmat yang muncul saat proses rangsangan seksual. Dalam merespons stimulasi seksual detak jantung, pernapasan, dan tekanan darah meningkat. Perangsangan seksual melibatkan dua refleks seksual yang penting, ereksi pada pria dan lubrikasi vagina (“basah”) pada wanita. Pada pria ereksi terjadi ketika pembuluh darah dalam jaringan yang ada di dalam penis membesar untuk memungkinkan aliran darah yang meningkat memperbesar jaringan. Pada wanita, payudara akan membesar, puting susu akan berereksi. Darah memenuhi genital, menyebabkan klitoris membesar. Vagina melebar dan membesar, dan lubrikasi muncul karena pembesaran pembuluh darah di vagina mendorong cairan keluar melalui membran kapiler.
3)      Fase Orgasme
Baik pada pria dan wanita, tegangan seksual mencapai puncaknya dan dilepaskan melalui kontraksi ritmik involunter dari otot pelvis disertai dengan perasaan nikmat orgasme, seperti ereksi dan lubrikasi adalah suatu refleks. Pada pria, kontraksi dari own pelvis mendorong cairan mani untuk keluar melalui ujung penis pada saat ejakulasi. Pada wanita, otot pelvis yang mengelilingi lapisan luar ketiga dari vagina berkontraksi secara refleks. Pada pria dan wanita, kontraksi pertama adalah yang terkuat dan berjarak 0,8 detik interval (lima kontraksi dalam 4 detik). Kontraksi selanjutnya lebih lemah dan terjadi dalam rentang yang lebih lama.
Orang tidak dapat memaksakan suatu orgasme. Demikian juga mereka tidak dapat memaksakan refleks seksual lainnya, seperti ereksi dan lubrikasi vagina. Kita hanya dapat mengatur tahap respons seksual dan membiarkannya terjadi secara alamiah. Mengatur tahap orgasme melibatkan menerima stimulasi seksual yang adekua dan sikap mau menerima kenikmatan seksual. Biasanya mencoba memaksakan orgasme justru akan mencegah terjadinya orgasme itu sendiri.
4)      Fase Resolusi
Fase terjadinya relaksasi dan perasaan nyaman. Pada tahap ini pria secara fisiologi, tidak mampu mencapai ereksi dan orgasme untuk suatu periode waktu tertentu. Namun, wanita mungkin mempertahankan rangsangan seksual pada tingkat yang tinggi jika stimulasi dilanjutkan dan mengalami orgasme ganda dalam suatu rangkaian yang cepat. Pada masa resolusi seksual tahun 1960-an dan 1970-an, kesadaran akan kapasitas untuk mencapai orgasme ganda menyebabkan sejumlah wanita berfikir bahwa mereka tidak hanya puas dengan satu kali orgasme. Ini merupakan sisi lain dari masa lalu yang melihat bahwa kenikmatan seksual hanya tepat untuk pria. Dalam seks sama seperti area kehidupan lainnya, segala keharusan sering kali merupakan tuntutan yang dipaksakan yang menimbulkan perasaan cemas dan tidak mampu.
Jenis-jenis Disfungsi Seksual
DSM-IV mengelompokkan disfungsi seksual dalam kategori berikut :
1)      Gangguan Hasrat Seksual (Sexual Desire Disorder)
2)      Gangguan Rangsangan Seksual (Sexual Arousal-Disorder)
3)      Gangguan Orgasme (Orgasme Disorder)
4)      Gangguan Sakit Nyeri Seksual (Sexual pain Disorder)
Tiga kategori yang pertama berhubungan dengan tiga fase pertama dari siklus respons seksual.
1)      Gangguan Hasrat Seksual
Gangguan hasrat seksual merupakan gangguan dalam nafsu seksual atau suatu keengganan terhadap aktivitas seksual genital. Orang dengan gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder) tidak atau kurang, memiliki minat atau hasrat seksual. Biasanya terjadi karena kurangnya atau tidak adanya fantasi seksual. Namun, para klinisi belum mencapai kesepakatan universal terhadap kriteria untuk menentukan tingkat hasrat seksual yang dapat dianggap normal (J.G. Beck, 1995). Klinisi secara individual, harus mempertimbangkan berbagai faktor dalam membuat diagnosis pada kasus rendahnya hasrat seksual, seperti gaya hidup klien (sebagai contoh, pada orang tua yang dipenuhi dengan tuntutan anak-anak dan balita, kurangnya energi seksual atau minat seksual mungkin saja terjadi), faktor sosiokultural (sebagai contoh, sikap budaya yang tertutup dapat menahan hasrat atau minat seksual), kualitas hubungan antara klien dan pasangan mereka (penurunan minat atau aktivitas seksual dapat menunjukkan adanya masalah pada hubungan yang ada dan bukan hilangnya dorongan seks ), dan usia klien ( dengan adanya peningkatan usia hasrat biasanya menurun tetapi tidak menghilang). Pasangan biasanya mencari bantuan ketika salah satu atau keduanya merasakan bahwa tingkat aktivitas seksual dalam hubungan mereka menurun atau telah sampai pada tingkat dimana minat dan hasrat seksual yang ada tinggal sedikit. Kadangkala menurunnya hasrat hanya terbatas pada satu pihak pasangan. Pada kasus lainnya, kedua belah pihak merasakan adanya dorongan seksual, tetapi kemarahan dan konflik yang berhubungan dengan isu-isu lainnya menghambat interaksi seksual mereka. Berdasarkan pada mitos bahwa pria selalu siap untuk seks, banyak pria yang menunjukkan gangguan hasrat seksual hipoaktif ( Letourneau & O’Donoheo,1993 ).
Orang dengan gangguan seksual aversi (sexual aversion disorder) memiliki keengganan yang kuat pada kontak seksual genital dan menghindari semua atau hampir semua kontak genital dengan pasangan. Namun mereka dapat memiliki hasrat dan menikmati kontak yang penuh kasih sayang atau kontak seksual nongenital. Rasa jijik dengan segala bentuk kontak genital dapat berasal dari penganiayaan seksual pada masa kanak-kanak, perkosaan, atau pengalaman traumatis lainnya. Pada kasus lain, perasaan yang mendalam akan rasa bersalah atau rasa malu terhadap seks dapat menimbulkan adanya respons seksual. Pada pria, diagnosis sering dihubungkan dengan sejarah kegagalan ereksi ( Spark, 1991 ). Pria-pria yang mengalami gangguan ini menghubungkan kesempatan seksual dengan kegagalan dan rasa malu. Pasangan mereka juga dapat mengembangkan keengganan untuk melakukan kontak seksual karena kontak seksual yang terjadi menimbulkan frustrasi atau menyakitkan secara emosional.

Ada dua sub kategori gangguan gairah seksual :
  1. Gangguan seksual perempuan
·         Yaitu ketidakmampuan yang bersifat terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan kenikmatan seksual (lubrikasi dan pembengkak-an genital) yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual
·         Gangguan ini dapat disebabkan karena distress yang mendalam efek fisiologis langsung dari obat-obatan atau penyakit medis umum.
  1. Gangguan ereksi pada laki-laki
·         Ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual
·         Salah satu jenis gangguan ereksi yaitu impotensi, dimana laki-laki yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan dalam kendali selama aktivitas seksual.
Diagnosis gangguan gairah bagi perempuan : tidak terjadinya lubrikasi vagina yang memadai dalam melakukan hubungan seksual secara nyaman. Sedangkan pada laki-laki : terjadinya kegagalan yang terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi.
Penyebab umum pada perempuan :
  1. Ketidaktahuan perempuan dalam hal-hal yang dapat membuatnya terangsang.
  2. Kurang mengetahui anatomi tubuhnya sendiri.
  3. Kurangnya hormon estrogen
  4. Perasaan malu terhadap pasangan
  5. Bersikap diam apabila pasangan tidak menstimulasi dan tidak mengenakkan bagi kenyamanan si perempuan selama melakukan hubungan seksual.
Sedangkan pada laki-laki :
  1. Adanya penyakit tertentu seperti : diabetes, penyakit ginjal, alkoholisme kronis
  2. Pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi seperti : thorazine, prozac, antihipertensi
  3. Ketidakseimbangan hormon
  4. Faktor-faktor somatik dapat berinteraksi dengan faktor psikologis untuk dapat menimbulkan ereksi tersebut

2)      Gangguan Orgasme
Orgasme atau klimaks seksual adalah suatu refleks involunter yang menghasilkan kontraksi ritmik dari otot pelvis dan biasanya disertai dengan perasaan nikmat yang kuat. Pada pria, kontraksi ini disertai dengan keluarnya cairan mani. Ada tiga jenis spesifik dari gangguan orgasme : gangguan orgasme wanita (female orgasmic disorder), gangguan orgasme pria (male orgasmic disorder), dan ejakulasi dini (premature ejaculation).
Gangguan orgasme dilihat sebagai suatu pola kesulitan mencapai orgasme atau ketidakmampuan untuk mencapai orgasme setelah adanya hasrat dan rangsangan seksual yang normal. Klinisi perlu membuat penilaian tentang apakah ada jumlah dan jenis stimulasi yang “cukup” untuk mencapai respons orgasmik. Cakupan yang luas dari variasi normal respons seksual perlu dipertimbangkan. Banyak wanita, sebagai contoh, membutuhkan stimulasi klitoral langsung (yaitu stimulasi dengan menggunakan tangannya sendiri atau pasangannya) untuk mencapai orgasme saat hubungan vaginal. Hal ini tidak dapat dikatakan abnormal, karena klitoris bukan vagina, klitoris adalah organ wanita yang paling sensitif secara erotis.
Pada pria, pola kesulitan untuk mencapai orgasme setelah melalui pola hasrat dan gairah seksual yang normal disebut dengan gangguan orgasme pria. Gangguan ini biasanya sering terjadi dan hanya memperoleh sedikit perhatian dalam literatur klinis (Dekker, 1993; Rosen & Leiblum, 1995). Pria dengan masalah ini biasanya dapat mencapai orgasme melalui masturbasi tetapi tidak melalui hubungan genital. Karena hal ini jarang terjadi, hanya ada sedikit kasus mengenai masalah ini (Rathus, 1978).
Ejakulasi dini mengacu pada pola ejakulasi dengan stimulasi seksual yang minimal. Hal ini dapat terjadi sebelum, pada saat, atau segera setelah penetrasi, tetapi sebelum pria tersebut menginginkannya. Perhatikan elemen-elemen subjektifnya. Dalam membuat diagnosis klinisi mempertimbangkan usia pris tersebut, sesuatu yang baru dari pasangan, dan frekuensi aktivitas seksual. Pengalaman ejakulasi dini yang sesekali terjadi, misalnya ketika pria tersebut bersama pasangan yang baru, memiliki kontak seksual yang jarang, atau sangat terangsang, berada pada spektrum normal. Pola yang lebih persisten dari ejakulasi dini dapat didiagnosis sebagai gangguan ini. Sekitar satu dari tiga pria mengalami ejakulasi dini (Spector & Carey, 1990).
Ada tiga jenis gangguan orgasme :
-      Gangguan orgasme pada perempuan : ketiadaan orgasme setelah satu periode kenikmatan seksual normal.
-      Tertundanya atau tidak terjadinya orgasme dengan mempertimbangkan umur, pengalaman seksual, keadekuatan stimulasi seksual yang diterima.
-      Penyebabnya antara lain :
1)      Perempuan yang jarang atau tidak pernah melakukan masturbasi sebelum mereka mulai melakukan hubungan seksual memiliki kemungkinan jauh lebih besar untuk tidak mengalami orgasme. Kurangnya pengetahuan tentang seksual, terutama ketidaktahuan akan anatomi genital mereka sendiri
2)      Konsumsi alkohol kronis dapat menjadi faktor somatik
3)      Perempuan memiliki ambang batas orgasme yang berbeda
4)      Rasa takut akan kehilangan kendali. Seperti : berteriak tanpa kendali, hal itu dapat membuat dirinya tampak bodoh atau pingsan
5)      Perasaan nonseksual yang dimiliki pasangan tersebut dapat juga mempengaruhi
-      Gangguan orgasme pada laki-laki dan ejakulasi prematur (dini).
Penyebab :
1)      Takut bila pasangan hamil
2)      Menyembunyikan rasa cinta
3)      Mengekspresikan kekasaran
4)      Takut untuk melepaskan kendali
5)      Adanya cidera saraf tulang belakang atau penggunaan obat penenang tertentu.
Ejakulasi dini dapat terjadi sebelum penis dimasukkan ke dalam vagina, namun lebih sering terjadi dalam beberapa detik setelah kontak kelamin.
Ejakulasi dini umumnya berhubungan dengan kecemasan yang tinggi. Laki-laki yang mengalami masalah tersebut lebih responsif terhadap sentuhan.
3)      Gangguan Nyeri Seksual
Pada dispareunia (dyspareunia), hubungan seksual dihubungkan dengan rasa sakit atau nyeri yang berulang pada daerah genital. Rasa sakit tersebut tidak dapat dijelaskan dengan penuh secara medis dan karena itu diyakini memiliki komponen psikologis. Namun, banyak, bahkan mungkin hampir semua, kasus nyeri saat berhubungan seksual dapat dilacak pada kondisi medis yang mandasari, seperti kurangnya lubrikasi atau infeksi saluran urin. DSM mengelompokkan kasus ini dibawah tabel diagnostik yang berbeda, “disfungsi seksual yang disebabkan oleh kondisi medis”.
Vaginismus melibatkan kejang involunter pada otot disekitar vagina ketika terjadi penetrasi vaginal, sehingga membuat hubungan seksual terasa menyakitkan atau tidak memungkinkan.
Gangguan nyeri seksual :
-      Dispareunia : rasa nyeri berulang pada kelamin yang berhubungan dengan kontak kelamin dalam hubungan seksual. Rasa nyeri terjadi ketika penis mulai memasuki vagina atau rasa sakit terjadi setelah penetrasi
-      Vaginismus : kejang berulang pada bagian luar ketiga pada vagina hingga ketingkat yang tidak memungkinkan terjadinya kontak kelamin.
Rasa sakit genital yang berhubungan dengan kontak kelamin dapat disebabkan oleh :
-      Sintom-sintom depresif
-      Kecemasan
-      Masalah dalam perkawinan
-      Ketidakmampuan pihak laki-laki untuk mempertahankan ereksi
Ikhtisar Disfungsi Seksual
Tipe-Tipe
  1. Gangguan Hasrat Seksual
Ø  Gangguan hasrat seksual hipoaktif : Kurangnya minat atau hasrat seksual
Ø  Gangguan aversi seksual : Keengganan untuk cara penghindaran terhadap kontak genital seksual
  1. Gangguan Rangsangan
Ø  Gangguan rangsangan seksual wanita : Kesulitan menjadi terangsang atau mempertahankan rangsangan seksual atau kegairahan selama aktivitas seksual
Ø  Gangguan ereksi pria : Kesulitan untuk mencapai atau memper-tahankan ereksi selama aktivitas seksual
  1. Gangguan Orgasme
Ø  Gangguan orgasme wanita : Kesulitan mencapai orgasme
Ø  Gangguan orgasme pria : Kesulitan mencapai orgasme
  1. Gangguan Nyeri atau Rasa
Ø  Dispareunia : Rasa sakit saat atau setelah berhubungan seksual yang tidak dapat dijelaskan atau sakit seksual secara medis
Ø  Vaginismus : Kontraksi tak disengaja atau involunter dari otot vagina, sehingga penetrasi penis menjadi menyakitkan atau tidak mungkin dilakukan
Faktor Penyebab
  1. Faktor Biologis
Penyakit atau kurangnya produksi hormon seks dapat mengganggu hasrat, rangsangan, atau respons seksual
  1. Faktor Psikodinamika
Teoretikus psikodinamika memperkirakan bahaya konflik tak sadar yang berasal dari masa kanak-kanak dapat menjadi akar permasalahan dalam merespons rangsangan seksual
  1. Faktor Psikososial
Ø  Kecemasan akan performan muncul dari kepedulian yang berlebihan terhadap kemampuan seseorang untuk memberikan performa seksual yang baik
Ø  Riwayat trauma atau penganiayaan seksual
Ø  Kurangnya kesempatan untuk mendapatkan ketrampilan seksual
Ø  Pemaparan terhadap sikap dan kepercayaan negatif tentang seksualitas terutama seksualitas wanita
  1. Faktor Kognitif
Ø  Pengadopsian kepercayaan irasional, seperti kepercayaan bahwa seseorang harus kompeten secara sempurna setiap saat, dapat menyebabkan kecemasan akan performa
Ø  Pada ejakulasi dini, gagal untuk mengukur peningkatan level tegangan seksual yang menyebabkan ejakulasi
Ø  Pengaruh kognisi seperti ketakutan untuk gagal, dapat menghambat respons seksual yang normal
  1. Faktor Hubungan
Masalah hubungan dan kegagalan untuk mengkomunikasikan kebutuhan seksual
Pendekatan Penanganan
  • Penanganan Biomedis
Terutama melibatkan penggunaan obat-obatan untuk menangani disfungsi ereksi atau ejakulasi dini
  • Terapi Kognitif Behavioral (CBT)
Terapi seks, teknik kognitif-behavioral singkat yang membantu individu dan pasangan untuk mengembangkan hubungan seksual yang lebih memuaskan dan mengurangi kecemasan akan performa























BAB III
KESIMPULAN

Kita dapat menamai perilaku seksual sebagai abnormal ketika hal itu menyimpang dari norma sosial, atau bersifat self-defeating, merusak atau mengganggu orang lain, menyebabkan distress personal, atau mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi secara optimal. Namun kita harus menyadari bahwa perilaku seksual yang dianggap normal pada satu budaya dapat dianggap abnormal pada budaya lain.
Orang dengan gangguan identitas gender merasa bahwa anatomi gender mereka merupakan sumber distress yang terus ada dan intensif. Orang dengan gangguan ini dapat mencoba untuk mengubah organ seks mereka sehingga menyerupai lawan jenis, dan banyak yang melakukan operasi penggantian gender untuk mencapai tujuan ini.
Gangguan identitas gender melibatkan kebingungan seseorang akan perasaannya secara psikologis sebagai pria atau wanita dan anatomi seksnya. Orientasi seksual berhubungan dengan arah ketertarikan seksual seseorang terhadap anggota gendernya sendiri atau gender lawan. Tidak seperti orang dengan gangguan identitas gender, orang dengan orientasi seksual guy atau lesbian, memiliki identitas gender yang konsisten dengan anatomi gender mereka.
Parafilia adalah penyimpangan seksual yang melibatkan timbulnya rangsangan terhadap stimulus tertentu seperti objek non-manusia (misalnya sepatu atau pakaian), penghinaan atau pemberian rasa sakit pada diri sendiri atau pasangan, atau anak-anak.
Parafilia mencakup ekshibisionisme, vetishisme, transvestik fetishisme, voyeurisme, froterisme, vedovilia, masokisme seksual, dan sadisme seksual. Meskipun sejumlah parafilia sebenarnya tidak membahayakan (seperti fetishisme), yang lain, seperti vedovilia dan sadisme seksual, sering membahayakan korban.
Parafilia dapat disebabkan oleh interaksi dari faktor biologis, psikologis, dan sosial. Usaha untuk menangani parafilia harus dikompromikan dengan fakta bahwa sebagian besar orang dengan gangguan ini tidak ingin berubah.
Disfungsi seksual mencakup gangguan hasrat seksual (gangguan hasrat seksual hipoaktif dan gangguan aversi seksual), gangguan rangsangan seksual (gangguan rangsangan seksual wanita dan gangguan ereksi pria), gangguan orgasme (gangguan orgasme wanita dan pria, dan ejakulasi dini), dan gangguan rasa nyeri seksual (dispareunia dan vaginismus).
Disfungsi seksual dapat berasal dari faktor biologis (seperti penyakit atau efek alkohol dan obat-obatan lain), faktor psikologis (seperti kecemasan akan performa, konflik yang tidak terpecahkan atau kurangnya kompetensi seksual), dan faktor sosio-kultural (seperti pembelajaran budaya yang membatasi secara seksual).
Terapis seks membantu orang untuk mengatsi disfungsi seksual dengan meningkatkan harapan self-efficacy, mengajarkan kompetensi seksual, memperbaiki komunikasi seksual, dan mengurangi kecemasan akan performa.
Hal ini meliputi penanganan hormon pembedahan vaskular, dan yang paling umum, penggunaan obat-obatan untuk membantu membangkitkan ereksi (Viagra) atau penundaan ejakulasi (antidepresan).






















DAFTAR PUSTAKA

Nevid S.Jefrey dkk.2005.Psikologi Abnormal.Jakarta: PT.Gelora Aksara.
Davidson,Gerald, dkk.2006.Psikologi Abnormal.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Tomb,David.A.2000.Psikiatri Edisi 6.Jakarta: EGC.
Nevid,Jeffrey S,dkk.2003.Psikology Abnormal.Edisi Kelima Jilid .Jakarta: Airlangga.